Kamis, 25 Juni 2009

Dari Buruh Jahit ke Petani Ikan


KELOMPOK Sumber Anugerah Desa Karangrejo Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung memang belum lama terbentuk, namun usaha pemberdayaan ekonomi yang dilakukan patut diacungi jempol. Mereka bekerja keras menciptakan lapangan pekerjaan sendiri melalui budi daya ikan hias maupun konsumsi.
Kelompok yang baru berjalan sekitar 7 bulan ini memiliki anggota sebanyak 20 orang, yang seluruhnya perempuan. Sebagian merupakan pembudidaya ikan hias, sebagian lagi petani ikan konsumsi. Ada yang menjadi penyedia bibit, peternak, hingga pelaku komoditi pasar daging ikan.

Pada awalnya, sebagian besar anggota Kelompok Sumber Anugerah bekerja sebagai buruh jahit pakaian dalam wanita. Namun dalam perkembangannya, usaha ini macet di tengah jalan. Produksi terus menurun karena permintaan pasar lesu. Akibatnya, mereka kehilangan pekerjaan yang selama ini menjadi penopang kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut Muhammad Yusuf, penggerak Kelompok Sumber Anugerah, selain buruh jahit, ibu-ibu itu tidak punya pekerjaan lain. Begitu usaha jahit macet, mereka pun menganggur, sementara dapur harus tetap mengepul. “Makanya, mereka kemudian berkumpul membentuk kelompok dan membuat usaha ekonomi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Usaha yang dijalankan hingga kini adalah budi daya ikan,”paparnya.
Untuk memperdalam wawasan tentang budi daya ikan dan memperkuat ikatan antar sesama anggota kelompok, dilakukan pertemuan rutin sebulan sekali. Dalam pertemuan ini dibahas berbagai permasalahan perikanan, baik pengelolaan maupun perawatannya. Misalnya tentang pakan ikan, obat-obatan, cara pembibitan bahkan harga produksi sampai harga jual ikan,”jelas Mahsunah, Ketua Kelompok Sumber Anugerah.
Tetapi, dalam perkembangannya, budi daya ikan ternyata tidak dapat berjalan mulus. Sebab, pada saat ini banyak timbul penyakit, karena ada perubahan musim sehingga harga pasarnya turun. Apalagi harga obat untuk mengatasi penyakit itu relatif mahal. Bagi anggota kelompok, hal itu bukan kendala serius, namun justru menjadi tantangan yang harus dilewati. Mereka punya trik sendiri untuk mengatasi penyakit itu, yakni dengan menggunakan pengobatan herbal.
“Kenapa ikan produk Indonesia sulit menjadi komoditi ekspor? Hal itu dikarenakan petani ikan kita terlalu bergantung pada obat-obatan kimiawi, makanya Kelompok Sumber Anugerah membuat perawatan herbal sendiri untuk ikan-ikanya,”terang Yusuf.
Pengobatan herbal yang dimaksud Yusuf memakai ramuan tradisional dengan bahan-bahan antara lain : kunir 5 kg, gamping 2 kg, jahe 1 kg, kencur 1 kg dan garam 1 kg. Bahan-bahan itu diparut lalu diambil airnya dan dicampur dengan pakan. “Selanjutnya diangin-anginkan dan baru diberikan kepada ikan buat pakan. Ini dilakukan setiap 1 minggu sekali,”tambah Muhsunah.
Melalui pengobatan herbal, Kelompok Sumber Anugerah ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat agar tidak terlalu mengandalkan, bahkan menghindari obat-obatan kimia, karena akan menimbulkan ketergantungan. Ikan yang diberi obat kimia juga berbahaya bagi kesehatan manusia jika dikonsumsi. Disamping itu, ikan menjadi tidak laku keras di pasar internasional.

Harga Pakan Naik, Pemerintah Tak Peduli
Naiknya harga pakan ikan baru-baru ini membuat para petani ikan harus memutar otak bagaimana cara mengatasinya. Sebelumnya harga pakan dari berbagai produk di pasar cuma Rp 192 ribu per zak, sekarang sudah mencapai Rp198 ribu per zak. Dengan demikian, kenaikannya rata-rata mencapai Rp 6.000 per zak.
Kenaikan harga pakan diakui Yusuf jelas tidak sebanding degan harga jual ikan di pasaran yang cenderung malah turun. Harga ikan Gurami yang sebelumnya Rp 20.000 per kg kini hanya Rp 18.000 per kg. “Ini kan nggak sebanding dengan harga pakan yang semakin hari semakin naik, kok bisa ya?,”tukasnya sambil menggelengkan kepala seakan-akan tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Menyikapi kondisi tersebut, seharusnya pemerintah sebagai penentu kebijakan bisa mempengaruhi kebijakan harga pasar agar lebih berpihak kepada masyarakat. Namun pada kenyataanya masyarakat sendiri yang menanggung beban.
Sebenarnya Kelompok Sumber Anugerah memiliki keinginan untuk membuat pakan ikan sendiri, sehingga harga pakan bisa ditekan. Sayangnya peralatan dan modal belum tersedia. Beberapa bulan lalu, kelompok ini mengajukan proposal kepada Dinas Kelautan dan perikanan Pemkab Tulungagung untuk meminta bantuan mesin pembuat pakan ikan. Tapi, usulan itu tidak disetujui karena Pemkab masih khawatir anggota kelompok nantinya tidak bisa memakai alat tersebut. “Pemerintah berkilah, pernah ada kelompok lain yang sudah dapat bantuan akan tetapi mesinnya tidak dipergunakan,”kata Mahsunah.
Di sisi lain, dia cukup gerah bila mencermati anggaran di Dinas Perikanan dan Kelautan. Sebab, anggaran perikanan ternyata lebih sedikit dibandingkan anggaran bidang kelautan. Padahal bidang perikanan lebih banyak menyerap tenaga kerja jika dibandingkan bidang kelautan.

Bercita-cita Membentuk Koperasi
Kelompok Sumber Anugerah kini sudah mempunyai kolam sendiri. Karena mereka bisa membuat kolam dengan cara mudah. Kalau dulu kolam harus dibuat dengan campuran semen dan batu bata (dicor) atau memakai terpal dari samping sampai dasar kolam. Namun, kini mereka memakai kolam dengan dasar tanah yang disampingnya dilapisi terpal. Cara ini dipakai oleh hampir seluruh petani ikan di Desa Karangrejo dan diyakini bisa mempercepat pertumbuhan ikan Gurami.
Agar kegiatan ekonomi tetap berlangsung, setiap anggota kelompok menanam saham sebesar Rp 50 ribu. Sehingga terkumpul modal sebanyak Rp 1 juta. Uang sebanyak itu dipergunakan untuk kegiatan simpan pinjam bagi anggota kelompok. Bagi peminjam diberi waktu 2 bulan untuk mengembalikan pinjamannya, sehingga uangnya bisa diputar lagi kepada anggota yang lain. Sementara itu, saat ini anggota Kelompok Sumber Anugerah memelihara ikan Gurami sebanyak 19.000 ekor.
Masruroh, Bendahara Kelompok Sumber Anugerah, menegaskan jika anggota kelompok ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi. “Ibu-ibu di desa ini mempunyai rasa tanggung jawab yang sangat besar, tujuan mereka bisa membantu ekonomi masyarakat,”tandasnya.
Kelompok ini juga berharap, ada modal kemitraan baik yang bersumber dari pemerintah maupun perusahaan swasta. Misalnya dalam bentuk kredit atau pinjaman yang mudah dan murah, syukur-syukur bila bisa berbentuk hibah.
Untuk jangka panjangnya, Kelompok Sumber Anugerah nantinya bisa membuat koperasi sendiri, sehingga dapat menjadi nilai tambah aset ekonomi masayarakat untuk simpan pinjam “Harapan kami nanti kelompok punya koperasi, terutama untuk kegiatan simpan pinjam, sehingga masyarakat sekitar bisa merasakan nikmat dan jerih payah kami,”tutur Mahsunah.

baca selengkapnya

Melestarikan Bakul Tradisional


PERALATAN dapur berbahan baku plastik, termasuk bakul (tempat nasi, orang Jawa menyebutnya wakul atau tompo) telah menjamur di pasaran dan dipergunakan oleh mayoritas warga di Indonesia. Namun, di balik maraknya bakul-bakul plastik, masih ada sebagian warga yang tetap bertahan menggunakan bakul tradisional berbahan baku bambu.

Jika anda menjumpai bakul di Pasar Dono Kecamatan Sendang dan sekitarnya, salah satunya merupakan hasil rajutan Binatin, pengrajin bakul bambu yang juga anggota Kelompok Masyarakat Mandiri “Sumber Makmur” Desa Tugu Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung.
Model bakul buatan Binatin sebetulnya cukup mungil, karena hanya berdiameter 10 cm – 15 cm. Tapi kualitasnya tidak bisa diragukan lagi. Selain kokoh lantaran rajutan bambunya sangat rapat, bahan baku yang digunakan merupakan bambu pilihan, sehingga lebih awet dan tahan lama, bahkan sampai 2-3 tahun. Juga tidak mudah rapuh, ulet dan lebih lentur.
Tidak mengherankan jika bakul produksi Binatin laku keras di pasaran. Malahan ia kerap kewalahan melayani permintaan, baik dari pedagang maupun pesanan perorangan. Setiap minggu, Binatin mampu memproduksi bakul tidak kurang dari 30 – 50 unit. Harga yang dipatokpun relatif murah, yakni cuma Rp 1.500 – Rp 2.000 per unit. Walhasil tidak sampai menguras kantong.
Bagi masyarakat yang tertarik, bisa membelinya di Pasar Dono atau jika butuh jumlah banyak dapat datang langsung ke rumah produksi Binatin di Desa Tugu Kecamatan Sendang. Sekitar 15 km arah barat kota Tulungagung.
Binatin ia mengakui jika saat ini jumlah produksinya masih sangat terbatas, karena kekurangan tenaga ahli. Yang ironis, banyak warga kini sudah meninggalkan karya-karya tradisional seperti bakul bambu. Mereka lebih memilih bakul terbuat dari plastik yang dianggap lebih praktis. Makanya, ia berharap ada warga Desa Tugu dan sekitarnya yang ikut melestarikan produksi bakul bambu. (lukman)

baca selengkapnya

Anak Miskin Masih Sulit Dapat Pendidikan yang Layak


ANGGARAN Pendidikan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) memang terus meningkat, bahkan angkanya diklaim sudah mencapai 20 % sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Sementara pemerintah kabarnya juga telah menggratiskan biaya sekolah hingga tingkat SMP. Namun, bagi keluarga miskin, pendidikan tetaplah mahal, karena kenyataannya mereka masih dipungut biaya selangit. Impian menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang paling tinggipun buyar.

Kondisi tersebut setidaknya dirasakan para keluarga miskin di Desa Winong Kecamatan Kalidawir Kabupaten Tulungagung. Sebuah desa terpencil di kawasan pegunungan bagian selatan yang berjarak sekitar 40 km dari pusat kota Tulungagung. Jalan-jalan di desa ini belum beraspal. Jika hujan tiba, jalanan yang terjal penuh bebatuan menjadi licin, berlumpur dan sebagian rawan longsor, sehingga sulit dilalui kendaraan.
Lokasinya yang terpencil menyebabkan warga Desa Winong kesulitan mendapatkan kesempatan memperoleh informasi, pendidikan, ekonomi dan transportasi secara memadai. ”Makanya anak-anak di sini hanya mampu sekolah sampai tingkat SMP,”tutur Winarti, Ketua Kelompok Masyarakat ”Bina Usaha” Dusun Branjang Desa Winong.
Dia juga mengakui jika sampai saat ini biaya pendidikan di daerahnya masih mahal. Sebagian anak semangat bersekolah, tetapi orang tuanya tidak mampu membiayai. Sebagian yang lain malah sebaliknya, orang tua punya biaya namun anaknya enggan melanjutkan sekolah karena dianggap hanya membuang-buang waktu. Daripada sekolah lebih baik kerja dapat uang.
”Di SD saja setiap semester harus ada tarikan yang jumlahnya mencapai ratusan ribu rupiah yang katanya untuk mmbeli buku pelajaran seperti buku Matematika, IPA, IPS atau yang lainya dan hampir di setiap semester seakan-akan harus ganti buku. Ya jelas masyarakat sini keberatan,”keluh Endang, salah seorang wali murid sebuah SD di Desa Winong sambil menceritakan kondisi pendidikan anaknya.
Apa yang diungkapkan Endang diperkuat pengakuan Sukamsri, Sekretaris Kelompok Masyarakat ”Bina Usaha”. Menurutnya, biaya daftar ulang biasa dilakukan setiap ada kenaikan kelas dan tarifnya mencapai Rp 250-300 ribu. Uang sebanyak itu informasinya untuk kegiatan peringatan hari-hari besar, juga untuk buku bacaan. ”Eh ternyata ada tarikan lagi waktu hari besar Qurban,”cerita Sukamsri tentang beban biaya sekolah anaknya yang sekarang masih duduk di bangku SLTP.
Menurut dia, anaknya ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SLTA, namun karena lokasi sekolahnya cukup jauh (di kota), biaya perjalanan menjadi mahal. Selain itu di lingkungannya tidak ada teman lain yang mau melanjutkan sekolah. Jadi kalau mau berangkat ataupun pulang sekolah harus sendirian. Belum lagi kondisi jalannya yang cukup sulit. Akhirnya niat sekolah anaknya terpaksa diurungkan.
Kondisi di atas masih diperparah dengan minimnya fasilitas pendidikan. Di Desa Winong hanya ada 1 SD negeri, yang lokasinya berada di tengah-tengah desa. Lantaran letak geografisnya di pegunungan, untuk sampai di sekolah tersebut para siswa harus berjalan berkilo-kilometer. Sedangkan untuk SLTP, lokasi yang paling dekat adalah SMPN Tanggunggunung yang berjarak sekitar 5 km dari Desa Winong. Jika ingin melanjutkan pendidikan tingkat SLTA, maka harus mencari sekolah di luar Kecamatan Kalidawir.

Memperkuat Ekonomi untuk Masa Depan Pendidikan Anak
Pengurus Unit Perdagangan Koperasi Serba Usaha ”Agung Waluyo” Desa Winong, Nabawianto, menjelaskan, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi banyaknya warga Winong tidak meneruskan pendidikan ke jenjang SLTA apalagi perguruan tinggi. Yakni karena kemiskinan, minimnya ketersediaan layanan informasi dan transportasi serta pendidikan warga yang masih rendah.
Dari ketiga faktor tersebut, yang paling dominan adalah kemiskinan. Karena itu sejumlah warga Desa Winong bergabung membentuk dan mengembangkan kelompok-kelompok untuk memperkuat ekonomi, dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya secara layak. Hingga saat ini telah terbentuk 10 kelompok di desa ini, yaitu Bina Usaha, Wijoyo Kusumo, Tani Maju, Sido Makmur, Jaya Mulya, Sumber Rejeki, Sumber Jaya Makmur, Ngudi Lestari, Seger Waras, Sumber Agung dan Sumber Makmur.
Kegiatan yang telah dilakukan adalah pengembangan ekonomi di bidang peternakan, perdagangan, pertanian dan simpan pinjam. Selain itu, kelompok-kelompok tersebut juga melakukan pendidikan berwawasan gender untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan diri. Dalam perkembangannya, mereka kemudian membentuk koperasi dengan unit-unit usaha : simpan pinjam, perdagangan, peternakan, pengolahan pakan ternak serta pengolahan pupuk organik
”Jika dilihat selama ini, masyarakat Winong dikatakan sebagai masyarakat terpencil, jauh dari peradaban, informasi maupun wawasan pengetahuan. Namun jika masyarakatnya mau berkembang, lama-kelamaan akan bisa mandiri. Terbukti bahwa selama ini mereka kurang diperhatikan oleh pemerintah, namun mereka bisa bertahan hidup untuk menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri,”papar Nabawianto.
Sementara Ketua Koperasi Serba Usaha ”Agung Waluyo”, Siswanto, mengemukakan bahwa masyarakat Winong biasa belajar dari pengalaman. Karena terbatasnya sarana dan fasilitas umum, masyarakat mau belajar saja harus keluar desa, sehingga mereka sepakat akan mendirikan kelompok. ”Dengan berkelompok masyarakat bisa belajar sendiri dan ketika punya masalah mereka bisa menyelesaikan sendiri. Inilah yang menjadikan masyarakat Desa Winong senang berkelompok,”ujarnya.

Anggaran Pendidikan Tersedot untuk Pembangunan Fisik
Berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003, secara umum menjelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ini berarti bahwa semua warga negara berhak memperoleh pendidikan tanpa memandang status kelas sosial, ekonomi, ras dan faktor yang sejenisnya. Semua warga negara berhak memperoleh fasilitas yang sama dalam proses belajar baik fisik maupun sarana pra-sarana.
Namun, pada kenyatannya pendidikan hanya bisa dinikmati oleh golongan menengah ke atas yang memiliki kemampuan secara ekonomi. Sedangkan anak-anak dari keluarga miskin masih sulit memperoleh pendidikan yang layak. Perbedaan status sosial ini sering kali memicu kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Dalam hal ini pemerintah seyogyanya lebih memprioritaskan kebijakannya untuk peningkatan sumber daya manusia anak miskin atau kurang mampu sehingga terjadi pemerataan.
Jika dicermati, program-program pemerintah untuk meringankan beban biaya pendidikan warga miskin hampir seluruhnya berasal dari APBN, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan sejenisnya. Sedangkan anggaran dalam APBD Tulungagung tahun 2009 ini kurang menyentuh kepentingan pendidikan warga miskin.
Anggaran belanja langsung pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung pada 2009 ini sebagian besar dipergunakan untuk pembangunan fisik seperti gedung sekolah dan sarana-prasarana pendidikan, yakni sebesar Rp 41,9 miliar (84.69 %) dari total belanja langsung Rp 49,5 miliar. Sementara untuk peningkatan akses pendidikan, termasuk bagi keluarga miskin, hanya Rp 125 juta (0,25 %) dan peningkatan mutu layanan pendidikan Rp 2,9 miliar (5,94 %). (lukman)

baca selengkapnya