Kamis, 25 Juni 2009

Melestarikan Bakul Tradisional


PERALATAN dapur berbahan baku plastik, termasuk bakul (tempat nasi, orang Jawa menyebutnya wakul atau tompo) telah menjamur di pasaran dan dipergunakan oleh mayoritas warga di Indonesia. Namun, di balik maraknya bakul-bakul plastik, masih ada sebagian warga yang tetap bertahan menggunakan bakul tradisional berbahan baku bambu.

Jika anda menjumpai bakul di Pasar Dono Kecamatan Sendang dan sekitarnya, salah satunya merupakan hasil rajutan Binatin, pengrajin bakul bambu yang juga anggota Kelompok Masyarakat Mandiri “Sumber Makmur” Desa Tugu Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung.
Model bakul buatan Binatin sebetulnya cukup mungil, karena hanya berdiameter 10 cm – 15 cm. Tapi kualitasnya tidak bisa diragukan lagi. Selain kokoh lantaran rajutan bambunya sangat rapat, bahan baku yang digunakan merupakan bambu pilihan, sehingga lebih awet dan tahan lama, bahkan sampai 2-3 tahun. Juga tidak mudah rapuh, ulet dan lebih lentur.
Tidak mengherankan jika bakul produksi Binatin laku keras di pasaran. Malahan ia kerap kewalahan melayani permintaan, baik dari pedagang maupun pesanan perorangan. Setiap minggu, Binatin mampu memproduksi bakul tidak kurang dari 30 – 50 unit. Harga yang dipatokpun relatif murah, yakni cuma Rp 1.500 – Rp 2.000 per unit. Walhasil tidak sampai menguras kantong.
Bagi masyarakat yang tertarik, bisa membelinya di Pasar Dono atau jika butuh jumlah banyak dapat datang langsung ke rumah produksi Binatin di Desa Tugu Kecamatan Sendang. Sekitar 15 km arah barat kota Tulungagung.
Binatin ia mengakui jika saat ini jumlah produksinya masih sangat terbatas, karena kekurangan tenaga ahli. Yang ironis, banyak warga kini sudah meninggalkan karya-karya tradisional seperti bakul bambu. Mereka lebih memilih bakul terbuat dari plastik yang dianggap lebih praktis. Makanya, ia berharap ada warga Desa Tugu dan sekitarnya yang ikut melestarikan produksi bakul bambu. (lukman)

Tidak ada komentar: