Kamis, 25 Juni 2009

Anak Miskin Masih Sulit Dapat Pendidikan yang Layak


ANGGARAN Pendidikan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) memang terus meningkat, bahkan angkanya diklaim sudah mencapai 20 % sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Sementara pemerintah kabarnya juga telah menggratiskan biaya sekolah hingga tingkat SMP. Namun, bagi keluarga miskin, pendidikan tetaplah mahal, karena kenyataannya mereka masih dipungut biaya selangit. Impian menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang paling tinggipun buyar.

Kondisi tersebut setidaknya dirasakan para keluarga miskin di Desa Winong Kecamatan Kalidawir Kabupaten Tulungagung. Sebuah desa terpencil di kawasan pegunungan bagian selatan yang berjarak sekitar 40 km dari pusat kota Tulungagung. Jalan-jalan di desa ini belum beraspal. Jika hujan tiba, jalanan yang terjal penuh bebatuan menjadi licin, berlumpur dan sebagian rawan longsor, sehingga sulit dilalui kendaraan.
Lokasinya yang terpencil menyebabkan warga Desa Winong kesulitan mendapatkan kesempatan memperoleh informasi, pendidikan, ekonomi dan transportasi secara memadai. ”Makanya anak-anak di sini hanya mampu sekolah sampai tingkat SMP,”tutur Winarti, Ketua Kelompok Masyarakat ”Bina Usaha” Dusun Branjang Desa Winong.
Dia juga mengakui jika sampai saat ini biaya pendidikan di daerahnya masih mahal. Sebagian anak semangat bersekolah, tetapi orang tuanya tidak mampu membiayai. Sebagian yang lain malah sebaliknya, orang tua punya biaya namun anaknya enggan melanjutkan sekolah karena dianggap hanya membuang-buang waktu. Daripada sekolah lebih baik kerja dapat uang.
”Di SD saja setiap semester harus ada tarikan yang jumlahnya mencapai ratusan ribu rupiah yang katanya untuk mmbeli buku pelajaran seperti buku Matematika, IPA, IPS atau yang lainya dan hampir di setiap semester seakan-akan harus ganti buku. Ya jelas masyarakat sini keberatan,”keluh Endang, salah seorang wali murid sebuah SD di Desa Winong sambil menceritakan kondisi pendidikan anaknya.
Apa yang diungkapkan Endang diperkuat pengakuan Sukamsri, Sekretaris Kelompok Masyarakat ”Bina Usaha”. Menurutnya, biaya daftar ulang biasa dilakukan setiap ada kenaikan kelas dan tarifnya mencapai Rp 250-300 ribu. Uang sebanyak itu informasinya untuk kegiatan peringatan hari-hari besar, juga untuk buku bacaan. ”Eh ternyata ada tarikan lagi waktu hari besar Qurban,”cerita Sukamsri tentang beban biaya sekolah anaknya yang sekarang masih duduk di bangku SLTP.
Menurut dia, anaknya ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SLTA, namun karena lokasi sekolahnya cukup jauh (di kota), biaya perjalanan menjadi mahal. Selain itu di lingkungannya tidak ada teman lain yang mau melanjutkan sekolah. Jadi kalau mau berangkat ataupun pulang sekolah harus sendirian. Belum lagi kondisi jalannya yang cukup sulit. Akhirnya niat sekolah anaknya terpaksa diurungkan.
Kondisi di atas masih diperparah dengan minimnya fasilitas pendidikan. Di Desa Winong hanya ada 1 SD negeri, yang lokasinya berada di tengah-tengah desa. Lantaran letak geografisnya di pegunungan, untuk sampai di sekolah tersebut para siswa harus berjalan berkilo-kilometer. Sedangkan untuk SLTP, lokasi yang paling dekat adalah SMPN Tanggunggunung yang berjarak sekitar 5 km dari Desa Winong. Jika ingin melanjutkan pendidikan tingkat SLTA, maka harus mencari sekolah di luar Kecamatan Kalidawir.

Memperkuat Ekonomi untuk Masa Depan Pendidikan Anak
Pengurus Unit Perdagangan Koperasi Serba Usaha ”Agung Waluyo” Desa Winong, Nabawianto, menjelaskan, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi banyaknya warga Winong tidak meneruskan pendidikan ke jenjang SLTA apalagi perguruan tinggi. Yakni karena kemiskinan, minimnya ketersediaan layanan informasi dan transportasi serta pendidikan warga yang masih rendah.
Dari ketiga faktor tersebut, yang paling dominan adalah kemiskinan. Karena itu sejumlah warga Desa Winong bergabung membentuk dan mengembangkan kelompok-kelompok untuk memperkuat ekonomi, dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya secara layak. Hingga saat ini telah terbentuk 10 kelompok di desa ini, yaitu Bina Usaha, Wijoyo Kusumo, Tani Maju, Sido Makmur, Jaya Mulya, Sumber Rejeki, Sumber Jaya Makmur, Ngudi Lestari, Seger Waras, Sumber Agung dan Sumber Makmur.
Kegiatan yang telah dilakukan adalah pengembangan ekonomi di bidang peternakan, perdagangan, pertanian dan simpan pinjam. Selain itu, kelompok-kelompok tersebut juga melakukan pendidikan berwawasan gender untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan diri. Dalam perkembangannya, mereka kemudian membentuk koperasi dengan unit-unit usaha : simpan pinjam, perdagangan, peternakan, pengolahan pakan ternak serta pengolahan pupuk organik
”Jika dilihat selama ini, masyarakat Winong dikatakan sebagai masyarakat terpencil, jauh dari peradaban, informasi maupun wawasan pengetahuan. Namun jika masyarakatnya mau berkembang, lama-kelamaan akan bisa mandiri. Terbukti bahwa selama ini mereka kurang diperhatikan oleh pemerintah, namun mereka bisa bertahan hidup untuk menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri,”papar Nabawianto.
Sementara Ketua Koperasi Serba Usaha ”Agung Waluyo”, Siswanto, mengemukakan bahwa masyarakat Winong biasa belajar dari pengalaman. Karena terbatasnya sarana dan fasilitas umum, masyarakat mau belajar saja harus keluar desa, sehingga mereka sepakat akan mendirikan kelompok. ”Dengan berkelompok masyarakat bisa belajar sendiri dan ketika punya masalah mereka bisa menyelesaikan sendiri. Inilah yang menjadikan masyarakat Desa Winong senang berkelompok,”ujarnya.

Anggaran Pendidikan Tersedot untuk Pembangunan Fisik
Berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003, secara umum menjelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ini berarti bahwa semua warga negara berhak memperoleh pendidikan tanpa memandang status kelas sosial, ekonomi, ras dan faktor yang sejenisnya. Semua warga negara berhak memperoleh fasilitas yang sama dalam proses belajar baik fisik maupun sarana pra-sarana.
Namun, pada kenyatannya pendidikan hanya bisa dinikmati oleh golongan menengah ke atas yang memiliki kemampuan secara ekonomi. Sedangkan anak-anak dari keluarga miskin masih sulit memperoleh pendidikan yang layak. Perbedaan status sosial ini sering kali memicu kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Dalam hal ini pemerintah seyogyanya lebih memprioritaskan kebijakannya untuk peningkatan sumber daya manusia anak miskin atau kurang mampu sehingga terjadi pemerataan.
Jika dicermati, program-program pemerintah untuk meringankan beban biaya pendidikan warga miskin hampir seluruhnya berasal dari APBN, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan sejenisnya. Sedangkan anggaran dalam APBD Tulungagung tahun 2009 ini kurang menyentuh kepentingan pendidikan warga miskin.
Anggaran belanja langsung pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung pada 2009 ini sebagian besar dipergunakan untuk pembangunan fisik seperti gedung sekolah dan sarana-prasarana pendidikan, yakni sebesar Rp 41,9 miliar (84.69 %) dari total belanja langsung Rp 49,5 miliar. Sementara untuk peningkatan akses pendidikan, termasuk bagi keluarga miskin, hanya Rp 125 juta (0,25 %) dan peningkatan mutu layanan pendidikan Rp 2,9 miliar (5,94 %). (lukman)

Tidak ada komentar: